Ramadhan, merupakan bulan suci yang penuh rakhmat,
maghfiroh dan bulan yang special dari bulan-bulan yang lainnya. Tidak
jarang kalau bulan ini selalu disambut dengan beragam budaya di wilayah
nasing-masing. Seperti yang namanya ‘petasan’ ini. Sebagian ber-anggapan
bahwa petasan merupakan budaya turun-temurun yang harus dilestarikan.
Tidak ada data yang pasti tentang masalah itu. Ada yang mengatakan bakar
petasan itu pengaruh dari budaya Cina, ada juga yang berkata bahwa
petasan itu sebagai lambang kegembiraan umat Islam karena Ramadhan telah
tiba. Juga ada yang berujar, bahwa suara petasan itu merupakan
pengumuman atas datangnya bulan Ramadhan. (http://www.rumahfiqih.com)
Tetapi memang, bila kita melihat sejarah petasan, bahwa tradisi
penggunaan petasan dan kembang api berawal dari negara Cina sejak abad
ke-11, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Sung (926M – 1279M). Bahan
dasar petasan dan kembang api, yaitu Mesiu, banyak digunakan dalam peperangan melawan expansi Mongolia pada tahun 1279 M. Selain itu, mesiu
juga digunakan untuk memeriahkan perayaan pernikahan dan kegiatan
spiritualitas; mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu perayaan atau
pesta. Sedangkan di Indonesia, petasan dan kembang api ini pertama kali
dikenalkan oleh bangsa Tiong Hoa yang berada di Batavia (sekarang
menjadi kota Jakarta) pada tahun 1740 melalui perayaan Peh Cun
dan perayaan tradisi Cina lainnya. Tradisi ini kemudian diikuti oleh
masyarakat Betawi dalam merayakan pesta pernikahan atau khitanan.
Tapi tahukah anda, ternyata masyarakat betawi melakukan tradisi itu
bukan tanpa sebab. Menurut Sejarawan Betawi, Alwi Shahab, bahwa pada
jaman dahulu, jarak antara rumah satu dengan yang lainnya sangat
berjauhan, sehingga diperlukan bunyi petasan untuk memberitahu bahwa ada
perayaan pesta di suatu tempat. Namun, seiring dengan berjalannya
waktu, penggunaan petasan ataupun kembang api juga mengalami perubahan
fungsi. Bagi etnis Tiong Hoa adalah untuk mengusir roh-roh jahat dan
bagi masyarakat betawi lebih digunakan sebagai sarana komunikasi,
sedangkan bagi sebagian orang digunakan untuk hiburan semata. (http://m.cyberdakwah.com)
Walaupun begitu, tetapi tradisi menyalakan petasan itu menuai banyak
pro-kontra. Sebagian orang menganggap bahwa tradisi itu merupakan budaya
turun-temurun yang harus dilestarikan. Meski dalam hukum Indonesia
tertera tentang petasan, bahwa petasan dan sebangsanya merupakan benda
terlarang. Seperti yang dipaparkan di http://www.rumahfiqih.com
“Petasan dan sebangsanya adalah benda terlarang. Sejak zaman Belanda
sudah ada aturannya dalam Lembaran Negara (LN) tahun 1940 Nomor 41
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api 1939, antara lain adanya
ancaman pidana kurungan tiga bulan dan denda Rp 7.500 apabila melanggar
ketentuan "membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan
yang tidak sesuai standar pembuatan". Mungkin karena peraturan tersebut
sudah kuno dan terlalu ”antik”, maka pemerintah telah mengeluarkan
berbagai macam peraturan, diantaranya UU Darurat 1951 yang ancaman-nya
bisa mencapai 18 tahun penjara”.
Yang jelas, hal ini seperti teroris kecil-kecilan. Korbannya, mungkin
hanya orang-orang yang sakit jantung. Walau-pun tidak dapat kita
pungkiri bahwa sudah banyak menuai banyak korban dari petasan itu.
Khususnya adalah korban ‘hati’ bagi sebagian orang yang tidak suka
dengan petasan. Coba bayangkan, bermain petasan merupakan pemborosan
uang (terlepas kaya dan miskin). Jadi, menyalakan petasan tidak perlu
menutup telinga, karena suara petasan merupakan kepuasan konsumen pada
umum-nya. Tetapi hal itu menjadi sumber kajian bersama, seperti
keputusan (MUI) Majelis Ulama Indonesia (Selasa 09/7/2013) http://www.iberita.com/10433/jelang-ramadhan-mui-minta-anak-anak-dan-remaja-jauhi-petasan
juga mgeluarkan himbauan agar masyarakat khususunya umat muslim tidak
bermain petasan. Asrorum Niam, yang menjadi Sekretaris Komisi Fatwa MUI
mengatakan bahwa perbuatan yang mendatangka madarat dan tidak bermanfaat adalah terlarang. Dan bermain petasan adalah termasuk dalam hal tersebut.
( dikutip dari http://www.cuapcuapkita.com )
( dikutip dari http://www.cuapcuapkita.com )